Menurut Mulyono (2001: 26), aktivitas artinya “kegiatan / keaktifan”. Jadi, segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan yang terjadi baik fisik maupun non-fisik merupakan suatu aktifitas. Sedangkan belajar menurut Oemar Hamalik (2001: 28), adalah “Suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan”. Aspek tingkah laku tersebut adalah pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan sosial, jasmani, etis atau budi pekerti, dan sikap. Jika seseorang telah belajar maka akan terlihat terjadinya perubahan pada salah satu atau beberapa aspek tingkah laku tersebut. Selanjutnya Sardiman (2003: 22) menyatakan bahwa belajar adalah sebagai suatu proses interaksi antara diri manusia dengan lingkungannya yang mungkin berwujud pribadi, fakta, konsep ataupun teori.

Dari uraian tentang belajar di atas, peneliti berpendapat bahwa dalam belajar terjadi dua proses yaitu perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang sedang belajar dan interaksi dengan lingkungannya baik berupa pribadi, fakta, dsb. Jadi peneliti berkesimpulan bahwa aktivitas belajar adalah segala kegiatan yang dilakukan dalam proses interaksi (guru dan siswa) dalam rangka mencapai tujuan belajar. Aktivitas yang dimaksudkan di sini penekanannya adalah pada siswa, sebab dengan adanya aktivitas siswa dalam proses pembelajaran terciptalah situasi belajar aktif, seperti yang dikemukakan oleh Rochman Natawijaya (2005: 31), belajar aktif adalah suatu sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.

Aktivitas belajar itu banyak sekali macamnya, sehingga para ahli mengadakan klasifikasi. Oemar Hamalik (2001: 172) mengklasifikasikan aktivitas belajar atas delapan kelompok, yaitu:
1. Kegiatan-kegiatan Visual.
Membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, dan mengamati orang lain bekerja dan bermain.
2. Kegiatan-kegiatan Lisan
Mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, wawancara, diskusi
3. Kegiatan-kegiatan Mendengarkan.
Mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan, mendengarkan radio.
4. Kegiatan-kegiatan Menulis.
Menulis cerita, menulis laporan, memeriksa karangan, bahan-bahan kopi, membuat rangkuman, mengerjakan tes dan mengisi angket.
5. Kegiatan-kegiatan Menggambar.
Menggambar, membuat grafik, chart, diagram, peta dan pola.
6. Kegiatan-kegiatan Metrik.
Melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, dan menyelenggarakan permainan
4. Kegiatan-kegiatan Mental.
Merenung, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis, dan membuat keputusan.

8. Kegiatan-kegiatan Emosional.
Minat, membedakan, berani, tenang dan lain-lain.
Berdasarkan pengertian aktivitas tersebut di atas, peneliti berpendapat bahwa dalam belajar sangat dituntut keaktifan siswa. Siswa yang lebih banyak melakukan kegiatan sedangkan guru lebih banyak membimbing dan mengarahkan. Tujuan Pembelajaran Pkn tidak mungkin tercapai tanpa adanya aktifitas siswa apalagi dalam pembelajaran PKn antara lain tujuannya adalah untuk menjadikan manusia kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dalam rangka membentuk manusia yang kreatif dan bertanggung jawab ini peneliti berusaha melatih dengan menggunakan model pembelajaran PBL, sebab dalam model pembelajaran ini siswa dituntut untuk aktif dan bertanggung jawab baik secara individu maupun kelompok untuk memecahkan sebuah masalah.

Hal lain yang juga sangat penting pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa adalah motivasi. Menurut Oemar Hamalik (2001: 158), motivasi adalah perubahan energi pada diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Motivasi dapat dibagi menjadi dua jenis:
1. Motivasi Intrinsik, adalah motivasi yang tercakup di dalam situasi belajar dan menemui kebutuhan dan tujuan-tujuan siswa. Motivasi ini disebut motivasi murni karena timbul dari diri siswa sendiri, misalnya keinginan untuk mendapat keterampilan tertentu, memperoleh informasi, mengembangkan sikap untuk berhasil, dll.
2. Motivasi Ekstrinsik, adalah motivasi yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar situasi belajar, misalnya ijazah, tingkatan hadiah, medali, dll. Motivasi ini tetap diperlukan di sekolah, sebab pembelajaran di sekolah tidak semuanya menarik minat siswa. Oleh sebab itu motivasi perlu dibangkitkan oleh guru, sehingga siswa mau dan ingin belajar.
Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah (Kamdi, 2007: 77). PBL atau pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.

PBL memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan satu masalah, (2) memastikan bahwa masalah tersebut berhubungan dengan dunia nyata siswa, (3) mengorganisasikan pelajaran seputar masalah, bukan seputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut siswa untuk mendemonstrasi-kan yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja. Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah yang dalam hal ini dapat dimunculkan oleh siswa ataupun guru, kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memcahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar.

Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan siswa melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalaman-pengalaman belajar yang beragam pada siswa seperti kerjasama dan interaksi dalam kelompok, di samping pengalaman belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti membuat hipotesis, merancang percobaan, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data, menginterpretasikan data, membuat kesimpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa model PBL dapat memberikan pengalaman yang kaya pada siswa. Dengan kata lain, penggunaan PBL dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang mereka pelajari sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata pada kehidupan sehari-hari.

PBL merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga siswa tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu, siswa tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan ketrampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis.

Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah apalagi kalau masalah tersebut bersifat kontekstual, maka dapat terjadi ketidakseimbangan kognitif pada diri siswa. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacam-macam pertanyaan di sekitar masalah seperti “apa yang dimaksud dengan….”, “mengapa bisa terjadi…”, “bagaimana mengetahuinya…” dan seterusnya. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah muncul dalam diri siswa maka motivasi intrinsik siswa untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan siswa tentang “konsep apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah”, “apa yang harus dilakukan” atau “bagaimana melakukannya” dan seterusnya. Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa penerapan PBL dalam pembelajaran dapat mendorong siswa mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada bagaimana dia membelajarkan dirinya.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa PBL sebaiknya digunakan dalam pembelajaran karena dengan PBL akan terjadi pembelajaran yang bermakna, siswa yang belajar memecahkan suatu masalah akan membuat mereka menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukannya. Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa berhadapan dengan situasi dimana konsep tersebut diterapkan. Selain itu melalui PBL ini siswa dapat mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara berkesinambungan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan aplikasi suatu konsep atau teori yang mereka temukan selama pembelajaran berlangsung. PBL juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.

Ada beberapa langkah cara menerapkan PBL dalam pembelajaran. Secara umum penerapan model ini dimulai dengan adanya masalah yang harus dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh siswa. Masalah tersebut dapat berasal dari siswa atau mungkin juga diberikan oleh guru. Siswa akan memusatkan perhatiannya di sekitar masalah tersebut. Dengan begitu siswa belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya.

Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah. Dengan demikian siswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar melakukaan kerja ilmiah yang sangat baik kepada siswa. Adapun langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL ada delapan tahapan (Pannen, 2001: 11), yaitu: (1) identifikasi masalah, (2) mengum-pulkan data, (3) analisis data, (4) pemecahan masalah berdasarkan analisis data, (5) memilih cara pemecahan masalah, (6) merencanakan penerapan pemecahan masalah, (7) ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan (8) melakukan tindakan untuk pemecahan masalah. Dalam proses pemecahan masalah sehari-hari, seluruh tahapan terjadi dan bergulir dengan sendirinya, demikian pula ketrampilan seseorang harus mencapai seluruh tahapan tersebut.

Langkah mengidentifkasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam PBL. Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang mencirikan kerja ilmiah seringkali menjadi masalah bagi guru dan siswa. Artinya, pemilihan masalah yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi pembelajaran, atau suatu masalah yang sangat menyimpang dengan tingkat berpikir siswa dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran. Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh guru pada tahap ini. Walaupun guru tidak melakukan intervensi terhadap masalah tetapi dapat memfokuskan melalui pertanyaan-pertanyaan agar siswa melakukan refleksi lebih dalam terhadap masalah yang dipilih. Dalam hal ini guru harus berperan sebagai fasilitator agar pembelajaran tetap pada bingkai yang direncanakannya.

Selain guru sebagai fasilitator, guru hendaknya juga menyadari arti penting suatu pertanyaan dalam PBL. Pertanyaan hendaknya berbasis “Why” bukan sekedar “How”. Oleh karena itu, setiap tahap dalam pemecahan masalah, ketrampilan siswa dalam tahap tersebut hendaknya tidak semata-mata ketrampilan “How”, tetapi kemampuan menjelaskan permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Tahapan dalam proses pemecahan masalah digunakan sebagai kerangka atau panduan dalam proses belajar melalui PBL.
Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Pembelajaran matematika yang baik menuntut penggunaan metodemetode
pembelajaran yang bervariasi. Hal ini masuk dalam logika, karena suatu
topik matematika, kadang-kadang dapat diajarkan secara lebih baik hanya
dengan metode tertentu. Jika guru matematika hanya menggunakan satu jenis
metode mengajar, maka akan membuat para siswa menjadi lebih cepat bosan
atau jemu terhadap pesan yang disajikan.

Terdapat banyak metode pembelajaran matematika di Sekolah Dasar yang
digunakan antara lain :
1. Metode Ekspositori
Metode eksposition sering disebut dengan metode ceramah, guru
menjelaskan dan menyampaikan informasi, pesan atau konsep kepada
siswa. Langkah-langkah pengajaran eksposition adalah sebagai berikut :
Pertama, guru menuliskan topik, menginformasikan tujuan pembelajaran,
menyampaikan dan mengulas materi prasyarat, serta memotivasi siswa.
Kedua, guru menjelaskan dan menyajikan pesan kepada siswa dengan lisan
atau tertulis.
Ketiga, guru meminta siswa mengerjakan soal dengan menggunakan
konsep yang disampaikan guru.

2. Metode Penemuan
Metode penemuan mendorong siswa memahami sesuatu. Sesuatu
tersebut dapat berupa fakta, atau relasi matematika yang masih baru bagi
siswa, misalnya pola, sifat-sifat atau rumus tertentu.
Metode penemuan sering memakan waktu lama, karena kegiatan ini
mengembangkan konsep maupun ketrampilan matematika dan kaitannya
dengan pemecahan masalah maupun ketrampilan matematika dan kaitannya
dengan pemecahan masalah.

3. Metode Laboratori
Metode laboratori merupakan metode mengajar yang orientasi
kegiatannya didasarkan atas percobaan dan penyelidikan dengan objekobjek
fisik.
Siswa melakukan penyelidikan individual, berpasangan atau
berkelompok dengan menggunakan benda-benda yang dapat dimanipulasi.
Dalam pembelajaran matematika, juga dapat menggunakan berbagai
macam teori belajar salah satu diantaranya adalah teori belajar J.S Bruner.
Dalam teorinya Bruner mengungkapkan 3 tahapan belajar yaitu :
1. Tahap Enactive
Siswa belajar konsep matematika dengan memanipulasi benda-benda
(objek) kongkret secara langsung.
2. Tahap Iconik (Pictorial)
Siswa memahami konsep matematika yang bersifat abstrak itu dengan
bantuan model-model semi kongkret berupa gambar atau grafik, tabel,
bagan peta dan lain sebagainya.
3. Tahap Symbolic
Siswa belajar konsep dan operasi matematika langsung dengan kata-kata
atau simbol-simbol tanpa bantuan objek konkret maupun model semi
kongkret.
Pada pengerjaan hitung bilangan campuran konsep yang disajikan
harus cara lisan dan verbal, dan ini sesuai dengan pengajaran dengan
menggunakan metode ekspositori. Walaupun metode pembelajaran ini
terarah dari guru, namun proses dan hasil pembelajarannya dalam
pengerjaan hitung bilangan campuran akan lebih efektif.
Bilangan campuran itu sendiri adalah bilangan bulat yang dalam
penghitungannya terdapat berbagai unsur tanda hitung. Misalnya :
(24 x 10) : 18 – 10 = ....

Dalam pengerjaan bilangan campuran sangat diperlukan konsep-konsep
yang terarah. Pada tahap penanaman konsep biasanya guru menggunakan
berbagai macam teknik.

Didalam metode ekspositori guru menggunakan teknik aturan yang
merupakan proses mengajar dimana guru mengemukakan aturan-aturan,
hukum, prosedur atau rumus tertentu untuk diikuti siswa. Teknik ini hampir
sama dengan teknik definisi dan contoh. Teknik kedua yang digunakan
adalah teknik analisis yang merupakan suatu proses mengajar dimana guru
berusaha memilah-milah atau menguraikan suatu konmsep kedalam
langkah-langkah tertentu.

Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan yang menjadi identitas bangsa Indonesia. Untuk menjaga kelestarian dan kemurnian bahasa Indonesia maka diperlukan berbagai upaya. Contoh upaya untuk menjaga kemurnian bahasa Indonesia adalah dengan menuliskan kaidah-kaidah ejaan dan tulisan bahasa Indo-nesia dalam sebuah buku yang disebut dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). EYD dapat digunakan sebagai pedoman dalam kegiatan berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dengan benar, baik komunikasi secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan upaya lain yang dapat digunakan untuk melestarikan bahasa Indonesia adalah dengan menanamkan bahasa Indonesia sejak dini.

Penanaman bahasa Indonesia sejak dini adalah memberikan pelatihan dan pendidikan tentang bahasa Indonesia sejak anak masih kecil. Pelaksanaan pendi-dikan bahasa Indonesia pada anak dapat dilakukan melalui pendidikan informal, pendidikan formal, maupun pendidikan nonformal. Pendidikan informal dilaku-kan oleh keluarga di rumah. Pendidikan ini dilakukan saat anak berada di rumah bersama dengan keluarganya. Sedangkan pendidikan formal dilaksanakan di dalam lembaga pendidikan resmi mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi. Dalam pendidikan formal ini gurulah yang berperan penting dalam menanamkan pengetahuan akan bahasa Indonesia. Sedangkan pendidikan nonformal dilaksanakan di luar rumah dan sekolah, dapat melalui kursus, pelatihan-pelatihan, pondok pesantren dan lain sebagainya.

Pendidikan bahasa Indonesia di lembaga formal dimulai dari SD. Jumlah jam pelajaran bahasa Indonesia di SD kelas I, II dan III sebanyak 6 jam pelajaran. Sedangkan kelas IV, V dan VI sebanyak 5 jam pelajaran. Banyaknya jumlah jam pelajaran Bahasa Indonesia dimaksudkan agar siswa mempunyai kemampuan berbahasa Indonesia yang baik serta mempunyai kemampuan berpikir dan bernalar yang baik yang dapat disampaikan melalui bahasa yang baik pula.

Tujuan Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD
Bahasa Indonesia merupakan salah satu materi penting yang diajarkan di SD, karena bahasa Indonesia mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat pen-ting bagi kehidupan sehari-hari. Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia sebagai-mana dinyatakan oleh Akhadiah dkk. (1991: 1) adalah agar siswa ”memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar serta dapat menghayati bahasa dan sastra Indonesia sesuai dengan situasi dan tujuan berbahasa serta tingkat pengalaman siswa sekolah dasar”. Dari penjelasan Akhadiah tersebut maka tujuan pembelajaran bahasa Indonesia dapat dirumuskan menjadi empat bagian. (1) Lulusan SD diharapkan mampu menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. (2) Lulusan SD diharapkan dapat menghayati bahasa dan sastra Indonesia. (3) Penggunaan bahasa harus sesuai dengan situasi dan tujuan berbahasa. (4) Pengajaran disesuaikan dengan tingkat pengalaman siswa SD. Butir (1) dan (2) menunjukkan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia SD yang mencakup tujuan pada ranah kognitif dan afektif. Butir (3) menyiratkan pen-dekatan komunikatif yang digunakan. Sedangkan butir (4) menyiratkan sampai di mana tingkat kesulitan materi pelajaran Bahasa Indonesia yang diajarkan.

Dari tujuan tersebut jelas tergambar bahwa fungsi pengajaran bahasa Indonesia di SD adalah sebagai wadah untuk mengembangakan kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi bahasa itu, terutama sebagai alat ko-munikasi. Pembelajaran bahasa Indonesia di SD dapat memberikan kemampuan dasar berbahasa yag diperlukan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah menengah maupun untuk menyerap ilmu yang dipelajari lewat bahasa itu. Selain itu pembelajaran bahasa Indonesia juga dapat membentuk sikap berbahasa yang positif serta memberikan dasar untuk menikmati dan menghargai sastra Indonesia. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia perlu diperhatikan pelestarian dan pengembangan nilai-nilai luhur bangsa, serta pembinaan rasa persatuan nasional.

Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia dalam BSNP (2006) dijabarkan menjadi beberapa tujuan. Tujuan bagi siswa adalah untuk mengembangkan kemampuannya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya. Adapun tujuan bagi guru adalah untuk mengembangkan potensi bahasa siswa , serta lebih mandiri dalam menentukan bahan ajar kebahasaan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan siswanya. Tujuan bagi orang tua siswa adalah agar mereka dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program pembelajaran. Tujuan bagi sekolah adalah agar sekolah dapat menyusun program pendidikan kebahasaan sesuai dengan keadaan siswa dan sumber belajar yang tersedia. Sedangkan tujuan bagi daerah adalah agar daerah dapat menentukan sendiri bahan dan sumber belajar kebahasaan dengan kondisi kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan sosial. 


FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRESTASI BELAJAR
Menurut Sardiman A. M (2000 : 37) secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua yaitu faktor intern dan ekstern.

a. Faktor yang datang dari dalam diri siswa
1. Faktor fisiologis, yang terdiri dari :
- keadaan tonus jasmani
- keadan fungsi-fungnsi jasmani

2. Faktor psikologis
Menurut Thomas F. Stanton yang dikutip oleh Sandiman A.M (2000 : 38)adalah sebagai berikut :
a. Motivasi yaitu seorang akan berhasil dalam belajar bila dalam dirinya adakeinginan untuk belajar.
b. Konsentrasi yaitu memusatkan segenap perhatian pada situasi belajar.
c. Reaksi yaitu pikiran dan otot-ototnya dapat bekerja secara harmonis, sehingga subjek belajar itu bertindak dan melakukannya.
d. Organisasi yaitu membantu siswa dapat cepat mengorganisasikan.
e. Ulangan yaitu mengulangi atau memeriksa yang sudah dipelajari.
f. Pemahaman yaitu siswa benar-benar memahami, maka akan siap memberi jawaban yang pasti.

b. Faktor yang datang dari luar
1. Faktor non sosial
Adalah segala yang berpengaruh terhadap kegiatan belajar selain manusia yang dapat mempunyai pengaruh besar terhadap prestasi belajar, misalnya : keadan cuaca, suasana lingkungan, fasilitas belajar dan sebagainya.
2. Faktor sosial
Yaitu faktor manusia, baik manusia itu ada (hadir) maupun kehadirannya dapat disimpulkan, jadi tidak langsung hadir.

Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati

Menurut Koyan (2000: 12), nilai adalah segala sesuatu yang berharga. Menurutnya ada dua nilai yaitu nilai ideal dan nilai aktual. Nilai ideal adalah nilai-nilai yang menjadi cita-cita setiap orang, sedangkan nilai aktual adalah nilai yang diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari. Kohlberg (Zuchdi, 2003: 3) mengklasifikasikan nilai menjadi dua, yaitu nilai obyektif dan nilai subyektif. Nilai obyektif atau nilai universal yaitu nilai yang bersifat intrinsik, yakni nilai hakiki yang berlaku sepanjang masa secara universal. Termasuk dalam nilai universal ini antara lain hakikat kebenaran, keindahan, dan keadilan. Adapun nilai subyektif yaitu nilai yang sudah memiliki warna, isi dan corak tertentu sesuai dengan waktu, tempat dan budaya kelompok masyarakat tertentu. Dari berbagai pendapat mengenai pengertian dari nilai tersebut, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga bagi kehidupan manusia.

Pendidikan nilai dapat disampaikan dengan metode langsung atau tidak langsung. Metode langsung mulai dengan penentuan perilaku yang dinilai baik sebagai upaya indoktrinasi berbagai ajaran. Caranya dengan memusatkan perhatian secara langsung pada ajaran tersebut melalui mendiskusikan, mengilustrasikan, menghafalkan, dan mengucapkannya. Metode tidak langsung tidak dimulai dengan menentukan perilaku yang diinginkan tetapi dengan menciptakan situasi yang memungkinkan perilaku yang baik dapat dipraktikkan. Keseluruhan pengalaman di sekolah dimanfaatkan untuk mengembangkan perilaku yang baik bagi anak didik (Zuchdi, 2003: 4). Pendidikan nilai yang dilakukan tidak hanya menggunakan strategi tunggal saja, seperti melalui indoktrinasi, melainkan harus dilakukan secara komprehensif.

Strategi tunggal dalam pendidikan nilai sudah tidak cocok lagi apalagi yang bernuansa indoktrinasi. Pemberian teladan atau contoh juga kurang efektif diterapkan, karena sulitnya menentukan siapa yang paling tepat untuk dijadikan teladan. Istilah komprehensif yang digunakan dalam pendidikan nilai mencakup berbagai aspek. Pertama, pendidikan nilai harus komprehensif meliputi semua permasalahan yang berkaitan dengan nilai, mulai dari pilihan nilai-nilai yang bersifat pribadi sampai pertanyaan-pertanyaan mengenai etika secara umum. Kedua, metode yang digunakan dalam pendidikan nilai juga harus komprehensif dalam arti menggunakan suatu hal yang sesuai dengan etiket kehidupan dan sesuai norma yang berlaku serta mempunyai andil dalam kelangsungan interaksi manusia. Termasuk di dalamnya inkulkasi (penanaman) nilai, pemberian teladan, dan penyiapan generasi muda agar dapat mandiri dengan mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan keputusan moral secara bertanggungjawab dan keterampilan-keterampilan hidup yang lain.

Generasi muda perlu memperoleh penanaman nilai-nilai tradisional dari orang dewasa yang menaruh perhatian kepada mereka, yaitu para anggota keluarga, guru, dan masyarakat. Mereka juga memerlukan teladan dari orang dewasa mengenai integritas kepribadian dan kebahagiaan hidup. Demikian juga mereka perlu memperoleh kesempatan yang mendorong mereka memikirkan dirinya dan mempelajari keterampilan-keterampilan untuk mengarahkan kehidupan mereka sendiri. Ketiga, pendidikan nilai hendaknya terjadi dalam keseluruhan proses pendidikan, seperti di kelas, dalam kegiatan ekstra kurikuler, dalam proses bimbingan dan penyuluhan, dalam upacara-upacara pemberian penghargaan, dan dalam semua aspek kehidupan. Contoh-contoh mengenai hal tersebut misalnya tercermin dalam kegiatan yang dilakukan oleh siswa seperti belajar kelompok, penggunaan bahan-bahan bacaan dan topik-topik tulisan mengenai kebaikan. Penggunaan klarifikasi nilai dan dilema moral, pemberian teladan tidak merokok, tidak korupsi, tidak munafik, dermawan, kejujuran, menyayangi sesama mahluk ciptaan Tuhan, dan lain sebagainya. Keempat, pendidikan nilai hendaknya terjadi melalui kehidupan dalam masyarakat. Orang tua, lembaga keagamaan, aparat penegak hukum, polisi, organisasi kemasyarakatan, semua perlu berpartisipasi dalam pendidikan nilai.

Konsistensi semua pihak dalam melaksanakan pendidikan nilai mempengaruhi kualitas moral generasi muda (Zuchdi, 2003: 11).Lebih lanjut Zuchdi (2003: 14) menuliskan bahwa untuk mencapai tujuan tercapainya pendidikan nilai secara komprehensif ada berbagai cara yang dapat dilakukan. Di Amerika Serikat untuk merealisasikan pendidikan nilai, berbagai metode, program, dan kurikulum telah dikembangkan dalam rangka menolong generasi muda agar dapat mencapai kehidupan yang secara pribadi lebih memuaskan dan secara sosial lebih konstruktif. Dilihat dari substansinya, ada empat pendekatan yang dianggap sebagai gerakan utama dalam pendidikan nilai yang komprehensif yaitu realiasi nilai, pendidikan watak, Pendidikan Kewarganegaraan dan pendidikan moral.

Adapun pengertian moral berasal dari bahasa latin mores, dari suku kata mos yang artinya adat istiadat, kelakuan, watak, tabiat, akhlak (Soenarjati, 1989: 25). Dalam perkembangannya moral diartikan sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik dan susila (Suyitni, 1989: 25). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa moral adalah hal-hal yang berkenaan dengan kesusilaan. Seorang individu dapat dikatakan baik secara moral apabila bertingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah moral yang ada. Sebaliknya jika perilaku individu itu tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada, maka ia akan dikatakan jelek secara moral.

Terkait dengan persoalan moral, para ahli psikologi dan ahli filsafat tidak didapatkan kata sepakat mengenai persoalan apa sebenarnya yang membentuk suatu masalah moral. Namun demikian sebagian para ahli sependapat bahwa masalah moral akan muncul manakala terjadi suatu pertentangan ataupun konflik mengenai persoalan tujuan, rencana, hasrat ataupun keinginan serta harapan manusia. Kepekaan seseorang mengenai kesejahteraan dan hak orang lain merupakan pokok persoalan ranah moral. Kepekaan tersebut mungkin tercermin dalam kepedulian seseorang akan konsekuensi tindakannya bagi orang lain, dan dalam orientasinya terhadap pemilikan bersama. Ketika anak-anak berhadapan pada pertentangan seperti itu, maka diharapkan teori perkembangan dapat mengatasinya. Dengan kata lain, teori ini memusatkan perhatian secara khusus pada bagaimana cara anak-anak menghadapi pertentangan tersebut. Selain itu, proses yang mereka lakukan dalam menyelesaikan permasalahan moral dapat untuk memotivasi agar mereka memperhatikan kepentingan orang lain dan kecenderungan untuk merasa tidak senang manakala mereka tidak memperhatikan kepentingan orang lain

Pendidikan moral merupakan salah satu pendekatan yang dianggap sebagai gerakan utama dalam pendidikan nilai secara komprehensif. Pendidikan moral mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan mengatasi konflik, dan perilaku yang baik, jujur, dan penyayang (kemudian dinyatakan dengan istilah ”bermoral”). Tujuan utama pendidikan moral adalah menghasilkan individu yang otonom, memahami nilai-nilai moral, dan memiliki komitmen untuk bertindak konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Pendidikan moral mengandung beberapa komponen yaitu pengetahuan tentang moralitas, penalaran moral, perasaan kasihan dan mementingkan kepentingan orang lain, serta tendensi moral (Zuchdi, 2003: 13).
Read more »
These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati